Oleh: Dr Ratna Riyanti SH MH
Di Indonesia, nuansa perpolitikan dengan segala liku-likunya yang bermuara pada kekuasaan adalah suatu hal yang menarik untuk dicermati, baik dalam tataran polity (sarana) dan politics (aksi), maupun policy (tujuan). Parpol dan elite politik menempati posisi strategis dalam memainkan peran keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu “gaya” perpolitikan parpol memberi kontribusi secara teoritis dan praktis dalam membangun kemajuan Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, demokrasi kita terus mengalami perkembangan. Ini ditandai dengan munculnya banyak partai (multi party).
Adanya sistem politik yang bersifat multi partai ini, drastis merubah wajah perpolitikan Indonesia dengan munculnya partai-partai baru. Secara realitas, munculnya partai-partai baru tentu akan semakin membuka kemungkinan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Kondisi ini sekaligus memberikan isyarat, bahwa sistem politik Indonesia telah menempatkan parpol sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Tak dapat kita bantah, bahwa pertumbuhan parpol di Indonesia banyak membawa harapan, karena parpol dapat menjadi katalisator positif bagi peningkatan aspirasi politik masyarakat. Munculnya partai-partai baru memerlukan usaha yang keras agar dapat diterima di masyarakat. Terlebih lagi, pengetahuan masyarakat terhadap parpol masih melekat kuat pada partai–partai peninggalan Orde Baru. Fakta politik inilah yang mendorong agar parpol mendekatkan dirinya dengan konstituen di tingkat akar rumput (grass root). Upaya parpol untuk mendekatkan diri kepada masyarakat memerlukan penanganan yang khusus, mengingat persaingan antara parpolpun sangat tinggi. Salah satu penanganan khusus itu adalah dengan mengelola komunikasi politik yang baik. Sub elemen komunikasi politik tersebut adalah pencitraan politik.
Jika citra diartikan sebagai gambaran, maka pencitraan diartikan sebagai penggambaran yang diterima oleh komunikan atau khalayak sebagai efek dari terpaan informasi yang diterimanya, baik langsung maupun melalui perantara media. Pencitraan juga sebagai cara seseorang menghubungkan seseorang dengan orang lain, sehingga pencitraan dalam kegiatan politik dapat berhasil untuk memenangi target politik, seperti pemenangan parpol dan politisi pada pemilihan umum.
Pada sistem politik ini masyarakat akan menyoroti berbagai manuver dan konstelasi politik para elite demi meraih kekuasaan, baik di daerah maupun uji penjajakan figur yang pantas diusung menjadi presiden. Salah satu manuver yang kini sedang gencar dilakukan adalah pencitraan. Pencitraan dianggap sebagai puncak tahapan pemilu yang sangat penting bagi elite politik, di samping elektabilitas. Bahkan, pada tahun-tahun 2018-2019 disebut juga sebagai tahun pencitraan. Tahun-tahun dimana telah dilaksanakannya Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).
Strategi pencitraan dibuat sedemikian rupa agar citra elit politik/kandidat yang terekam dan melekat di benak publik (dalam hal ini pemilih) adalah sesuatu yang positif, sehingga mereka terdorong untuk mendukung dan memberikan suara kepada kandidat tersebut dalam pemilu.
Pemasaran politik masyarakat dipercayai bahwa keinginan untuk memilih kandidat secara signifikan dipengaruhi oleh sikap terhadap kandidat dan norma subjektif interpersonal. Pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut kandidat, seperti visi/misi/program kandidat. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang, dan bangga terhadap seorang kandidat ketika memilih. Jadi, proses pengambilan keputusan pemilih tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program maupun informasi-informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat).
Bukan saatnya Politik Pencitraan.
Di balik bagusnya penampilan dan manisnya janji-janji politik yang disampaikan seorang kandidat dalam kampanye dan iklan-iklan politiknya, ada bahaya besar yang mengintai rakyat Indonesia. Politik pencitraan ternyata tidak hanya sebatas untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya agar seorang kandidat bisa terpilih dalam pemilu nanti, tapi ada bahaya terselubung yang harus segera disadari oleh masyarakat saat ini.
Dengan politik pencitraan maka hak-hak masyarakat akan kembali tidak ditunaikan oleh penguasa. Akibatnya, kesejahteraan yang dijanjikan bagi rakyat tidak akan pernah tercapai. Mengapa? Karena politik pencitraan hanya menawarkan janji-janji politik yang manis tapi minus dari pelaksanaannya. Sudah banyak bukti yang menunjukkan kebohongan penguasa sekarang yang tidak memenuhi janjinya ketika kampanye. Masyarakat terperosok kembali ke dalam lubang yang sama.
Selain itu, bahaya lain dari politik pencitraan adalah keberadaannya yang semakin mengokohkan sistem demokrasi. Dengan politik pencitraan masyarakat akan memilih calon penguasa yang justru menerapkan sistem demokrasi dimana penguasa akan menjalankan aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan atau suara terbanyak atau pesanan asing di DPR.
Pola semacam ini setidaknya sudah berlangsung sejak pemilu tahun 2004. Presiden yang mendapat penilaian di masyarakat yang memiliki karakter segar, punya karakter high-profile yang memungkinkan untuk menjadi “wajah” Indonesia dimasa itu. Tetapi seiring berjalannya waktu 10 tahun memipin, public menilai bahwa karakter tersebut ternyata tidak cukup. Mereka mencari karakter yang sebaliknya yaitu low-profile, merakyat, tidak perlu terlalu cerdas asal dapat merangkul dan mengayomi dan seorang eksekutor bukan konseptor.
Membangun persepsi publik dan merekayasa pencitraan diri tidaklah bisa dijalankan dalam satu tahun saja. Perlu ada upaya sistemik dan terukur untuk bisa mencapai hasil yang diharapkan. Setidaknya, kita bisa melihat bahwa mereka yang kini memiliki peluang terbesar untuk menjadi presiden adalah mereka yang telah mendaki tangga persepsi dan pencitraan lebih dari 3 tahun secara konsisten. Kini mereka menuai hasilnya.
Sebagai contoh pada saat kampenya pemilihan presiden pada pilpres 2019, masing-masing kubu memainkan citra dan simbol dengan cara membentuk persepsi publik tentang sosok calon presiden saat itu yaitu Jokowi maupun Prabowo. Dari Tim sukses Jokowi memberikan citra bahwa Jokowi adalah sosok yang lahir dari keluarga yang sederhana, memiliki pengalaman menjabat sebagai Walikota dan Gubernur yang artinya sudah ada keberhasilan dalam memimpin. Sedangkan dari Tim sukses Prabowo mencitrakan sebagai sosok yang lahir dalam keluarga yang sudah terkait dengan dinasti politik era sebelumnya dan pernah menjabat sebagai perwira militer yang dianggap masyarakat banyak sebagai sosok yang berwibawa dan tegas sehingga mampu untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia.
Dalam Al-Quran pun dijelaskan pada (QS. At-Taubah [9] : 105) yang berbunyi : “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Alloh dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Alloh) yang mengetahui akan yang Ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah (9):105).
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang diangkat oleh Alloh SWT untuk memipin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Alloh haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat yang cerdas harus paham mengenai strategi citra para elit politik agar ke depannya kita dapat memilih pemimpin secara objektif yang tujuannya mengedepankan cita-cita rakyat indonesia. Kita sebagai masyarakat yang mempunyai pola pikir yang baik harus cermat dalam menilai sosok pemimpin yang akan kita pilih karena pemimpin yang akan kita pilih adalah pemimpin yang bertanggung jawab bukan hanya terhadap negara atau pemerintahan saja tetapi bertanggung jawab terhadap seluruh kesejahteraan semua rakyat Indonesia.
Pemimpin yang kita butuhkan bukan hanya soal citra yang baik saja tetapi ada prestasi tersebut yang lahir dari kesungguhan, totalitas pengabdian, dan kerja keras serta kerja nyata. Kita sebagai rakyat sekaligus warga negara pun jangan mudah untuk menerima isu-isu dan citra yang baik tanpa tahu latar belakang calon pemimpin yang akan kita pilih serta jangan mau untuk dijadikan alat dan dimanfaatkan oleh para elit politik.
Politik pencitraan juga melahirkan budaya tidak kritis kepada publik sehingga publik dididik untuk lebih memilih orang bukan karena kesesuaian dengan kualifikasi, tapi justru karena aspek kekeluargaan, kedekatan, pesonanya wibawanya ataupun penampilannya. Jika hal ini terus terjadi pada publik maka hal yang terjadi besar kemungkinan negara tidak akan maju dan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya. Inikah yang diinginkannya?
(Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal)