Sekda Jateng Sri Puryono menilai greget masyarakat dalam menanam dan merawat mangrove masih kurang/foto: istimewa |
"Masih banyak masyarakat menganggap sepele tanaman mangrove, karena tidak memahami manfaat dan fungsi mangrove. Kalau sudah terjadi tsunami seperti di Aceh mereka baru akan sadar pentingnya keberadaan hutan mangrove," ujar Sekda saat pengarahan pada kegaiatan Pengabdian Masyarakat kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di Balai Desa Mangunharjo Semarang, Kamis (11/7/2019).
Sekda menyebutkan, kawasan hutan mangrove di Jateng seluas 56 ribu hektare. Dari total luas hutan mangrove tersebut hanya 22 persen yang kondisinya bagus. Sedangkan sebanyak 78 persen lainnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah, masyarakat, akademika dan pihak-pihak lainnya untuk bersama-sama memperbaiki kerusakan dan melestarikannya.
Hutan mangrove di Jateng tersebar di 13 kabupaten di wilayah pantai utara dan 3 kabupaten di pantai selatan Jateng. Jika keberadaan hutan mangrove yang membentang di pesisir pantai utara Rembang hingga Brebes, serta pantai selatan meliputi Cilacap, Purworejo, dan Kebumen dikelola dengan baik akan memberikan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial.
"Fungsi ekologi mencakup pelindung garis pantai dari abrasi dan mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, mencegah intrusi air laut ke daratan. Bahkan mangrove bisa bernilai ekonomis dengan memanfaatkan menjadi aneka produk makanan dan keperluan rumah tangga," terangnya.
Pengabdian masyarakat sebagai tindak lanjut dari Rektor Undip dan Gubernur Jateng dengan tema Monitoring Pertumbuhan Mangrove di Desa Mangunharjo Kecamatan Tugu Kota Semarang itu, terdapat lima program kerja sama dengan sekolah Pascasarjana Undip. Yakni meliputi Magister Ilmu Lingkungan, Doktor Lingkungan, Magister Sistem Informasi, Magister Energi, dan Epidemiologi.
"Banyak potensi yang bisa dikembangkan dari hutan mangrove. Di antaranya sektor ekowisata, energi baru terbarukan, teknologi informasi, juga konservasi hutan mangrove sebagai pengendalian vektor dalam upaya pencegahan malaria di wilayah pesisir," bebernya.
Hutan mangrove di kawasan Mangunharjo, lanjut dia, dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata yang menarik dan edukatif. Untuk pengembangan ekowisata berbasis sumber daya mangrove tersebut, pemerintah kelurahan setempat dapat menggandeng Pascasarjana Undip dalam penyusunan desain. Tidak kalah penting adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat kawasan hutan mangrove.
Dosen Undip Fuad Muhammad menambahkan, fungsi ekosistem mangrove di antaranya sebagai tempat hidup beragam biota, transit bagi burung migran, melindungi pesisir, menjebak sedimen, daerah pemijahan, pengembalaan dan mencari makan.
Adanya alih fungsi lahan menjadi tambak atau perumahan mengakibatkan vegetasi mangrove menjadi berkurang. Oleh karena itu reboisasi atau penanaman kembali kawasan pesisir dan merawat tanaman mangrove agar menjadi hutan mangrove yang lestari. Kondisi seperti itu menjadi modal untuk dikembangkan menjadi ekowisata.
"Hutan mangrove yang bagus menjadi modal untuk mengembangkan ekowisata. Konsep yang ditawarkan adalah ekowisata karena hutan mangrove di Mangunharjo sesuai kategori untuk ekowisata," katanya.
Menurutnya, pengembangan potensi manggrove sebagai ekowisata harus memenuhi konservasi, edukasi, partisipasi, dan pendapatan. Prinsip konservasi dan edukasi sangat penting karena keberadaan hutan mangrove sebagai pelindung alam untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan memelihara kelestarian lingkungan.
"Partisipasi masyarakat juga sangat penting karena sebagai aktor utama. Mulai dari perencanaan, pengawasan hingga pelaksanaan. Melalui program-program ini virus pemahaman tentang manfaat menjaga kelestarian hutan mangrove harus disebarkan kepada masyarakat luas," jelasnya. (*)